Kita terbelah di antara dua balkon yang bersebelahan.
Pertama-tama, kamu memandangku di saat aku tak menyadarinya, aku juga sama. Tiap pagi kamu mengamati setiap rutinitas yang kujalani. Setiap detik sepasang mata berwarna gagak milikmu takkan berhenti.
Sempat kita berpapasan tanpa sengaja. Aku selalu mempertanyakan kepada Tuhan mengapa harus seperti ini. Kamu yang bingung membuatku ingin berharap agar kita takkan berpapasan lagi. Kuharap seperti itu.
Setiap malam kita menatap lekat. Matamu yang tajam menatapku, membaca kisah yang sulit terucap. Membaca rasa yang belum tersampaikan. Kadang kamu membawa gitar, sesekali memainkan nada acak yang tak jelas asalnya. Sekali waktu kita berbisik-bisik dengan topik apapun dengan dawaian gitar dan didampingi aroma teh panas kamomil.
Namun, rasa apa yang membuat mataku tak ingin melepas pandangan darimu?
Apa yang membuatku semakin sering berdoa agar aku mendengar lagi petikan gitarmu atau sayup-sayup bisikanmu yang memohon agar aku bersua mendampingi iringanmu?
Aku ragu. Aku tak tahu. Semua karena aku sulit mempercayai orang lain. Karena aku telah kehilangan satu-satunya orang yang sangat kusayangi.
Kita mungkin memang jauh, namun anehnya kita tahu satu sama lain seperti sepasang teman lama. Aku tahu dari tetanggaku, kamu pun juga begitu bukan? Kamu tahu kehilanganku, aku tahu patah hatimu.
Sampai satu waktu kamu berbicara seperti orang mabuk dan aku tiba-tiba bergerak cepat menggenggam jemarimu, menarikmu ke suatu tempat dan akhirnya kita terbawa suasana romansa.
Di lain waktu, kita sempat menjauh. Kau bilang begitu dengan nada bicara yang bukan dirimu yang biasa. Kau tak tahu, sekembalinya aku dari pertemuan kita, aku terus mengeluarkan air mata sampai diriku merasa kering tak berisi.
Akhirnya kau datang di hari lain, ketika aku masih memilih untuk mengurung diri. Kau datang membawa sebuket bunga serta gitar cokelat milikmu. Kau memintaku menyanyi, dan aku menyanggupinya setelah menemukan mutiara-mutiara yang tak sempat mengayun seperti bunga tidur.
Kemudian aku berhenti sejenak.
Lenganmu merangkulku dengan dekapan mengalun, mengalirkan hangat rasa sayang yang terakhir terucap dalam suara yang mengalun indah dan sejuk seperti angin yang berhembus malam ini.
“Aku mencintaimu,” bisikmu.